SUGENG RAWUH :
Home » » Penanggulangan Kemiskinan di Desa

Penanggulangan Kemiskinan di Desa

Oleh : Juru Tulis pada Senin, 10 Januari 2011 | 7:28 AM


Poro sederek, kemiskinan pedesaan bukanlah sesuatu yang asing lagi kalo kita bicarakan, bahkan kalo kita melihat data-data yang ada selama ini masih banyak sekali kondisi pedesaan dinegeri ini yang jauh dari kata layak dalam hal kemiskianan, hingga menyebabkan penduduknya tidak betah tinggal didesa dan harus beramai-ramai meninggalkan kampung halaman untuk mencari nafkah kekota, yang belum tentu menjamin peningkatan perekonomian mereka.  Berikut adalah sebuah artikel dari IRE Yogyakarta yang menganalisa sebuah kemiskinan, walaupun data-data yang disajikan sudah agak lama namun permasalahan-permasalahan yang ditemukan bisa menjadi acuan bagi daerah-daerah lain untuk mencoba bangkit dan membenai kondisi.


ADD dan Penanggulangan Kemiskinan di Gunungkidul

Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selama ini mendapat predikat sebagai daerah miskin. Minimnya daya dukung lingkungan dan sumber daya alam menjadi penyebab utama kemiskinan daerah ini. Kekeringan yang terjadi setiap tahun, struktur tanah yang berbatu, terbatasnya suplai air bersih, serta bencana lokal seperti tanah longsor telah menjadi sandingan hidup masyarakat di sana sejak dulu.

Predikat Gunungkidul sebagai daerah tertinggal bisa dilihat dari jumlah penduduk miskin yang dari tahun ke tahun selalu terbanyak di antara kabupaten/kota lainnya di DIY. Tahun 2007 dan 2008 persentasenya mencapai 30,32 persen dan 28,50 persen. Secara kuantitas, jumlah penduduk Gunungkidul kalah banyak dibanding Kabupaten Sleman dan Bantul. Tetapi, jumlah penduduk miskinnya selalu yang terbanyak.

Tabel Penduduk Miskin
Karakteristik penduduk miskin di Gunungkidul ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan. Dampaknya, pilihan lapangan kerja yang dapat diakses warga di sana menjadi terbatas. Tahun 2007, misalnya, 82,65 persen dari seluruh angkatan kerja miskin hanya mampu bekerja di sektor informal.
Sektor informal yang dimaksud adalah sektor pertanian terutama buruh tani dan sejenisnya.

Data tahun 2007 menunjukkan 68,05 persen penduduk Gunungkidul hanya tamat sekolah dasar ke bawah, diikuti dengan lulusan SLTP (18,03 persen), SLTA (11,41 persen), dan diploma ke atas (3,17 persen). Meskipun telah mengalami penurunan dari 72,22 persen pada 2002 dan 70,77 persen tahun 2004, angka 68,06 persen tersebut merupakan yang tertinggi di antara kabupaten/kota lainnya di DIY.

Minimnya sumber daya alam juga menjadi faktor utama tidak berkembangnya ekonomi masyarakat Gunungkidul. Keterbatasan sumberdaya alam pada akhirnya mendorong masyarakat Gunungkidul mencari pekerjaan ke kota-kota besar khususnya Yogyakarta, Jakarta bahkan luar negeri. Kiriman uang para perantau (remitent) itulah yang menjadi salah satu income utama, yang sangat membantu ekonomi keluarga. Masyarakat yang masih tertinggal adalah bagian dari keluarga yang memang bertahan untuk menjaga warisan keluarga dan mempertahankan generasi di desa.


Beranjak dari persoalan tersebut, munculah keinginan Bupati Gunungkidul Soeharto untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan. Visi tersebut dicanangkan dalam RPJMD 2006-2010. Untuk mencapai tujuan itu, semua sumberdaya yang dimiliki kabupaten dikerahkan.


Akan tetapi, aktualisasi visi tersebut masih jauh dari harapan. Jangankan menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan, untuk membebaskan desa dari kemiskinan saja sangat susah. Gunungkidul tidak mempunyai sumberdaya yang memadai. APBD minim, PAD rendah, sementara daya dukung sumber daya alam juga lemah. Selain itu, kondisi infrastruktur yang buruk membuat desa sulit berkembang. Tapi, meskipun hingga kini Pemkab hanya mampu memberi sedikit dana untuk desa, Soeharto meyakini, jika visi desa sebagai pusat pertumbuhan dipertahankan, maka kemiskinan di desa bisa teratasi. 

Kemiskinan di Gunungkidul mendapatkan perhatian pemerintah sebagai upaya pengentasan kemiskinan melalui berbagai skema program pembangunan dan penanggulangan kemiskinan. Dari kabupaten, skema yang masuk desa antara lain Alokasi Dana Desa, program mandiri pangan, program kredit usaha mikro, hingga program infrastruktur fisik. Sedangkan dari propinsi, terdapat program bantuan peternakan, subsidi pembangunan infrastruktur desa, sampai program pendidikan dan kesehatan. Dari pemerintah pusat, desa juga mendapatkan kucuran program PNPM, BOS, jaminan kesehatan hingga pemberian kredit usaha mikro.


Banyaknya program yang masuk ke Gunungkidul ternyata masih belum memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara berarti. Angka kemiskinan masih cukup tinggi yakni 25,96 persen dari total jumlah penduduk. Angka kemiskinan ini tak bergerak jauh dari sebelumnya. Akar sebabnya, program penanggulangan kemiskinan masih memprioritaskan pembangunan infrastruktur pedesaan, di mana pembangunan infrastruktur menyedot porsi terbesar. Pembangunan jalan, misalnya, ditujukan untuk memperlancar transportasi, yang selanjutnya akan meningkatkan akses masyarakat ke pasar dan memberdayakan ekonomi desa secara umum.


Sayangnya, hingga saat ini antar otoritas yang bertanggungjawab pembangunan infrastruktur jalan belum tersinergi secara solid. Sengkarut siapa yang bertanggungjawab pembangunan jalan dari tingkat jalan dusun hingga jalan berstatus propinsi masih belum terselesaikan. Akibatnya, kondisi jalan tak kunjung membaik. Oleh karena itu, tak heran jika apapun program penanggulangan kemiskinan yang masuk desa, warga memprioritaskan pembangunan jalan.


Visi desa sebagai pusat pertumbuhan—seperti yang diinginkan oleh Bupati dengan berbagai skema pembangunan daerah, propinsi maupun nasional—menunjukkan bahwa posisi desa tak lagi jadi obyek pembangunan seperti era Orde Baru. Kini desa—meminjam isitlah Sutoro Eko—menjadi pasar berbagai program pembangunan, khususnya yang mengatasnamakan pembangunan pedesaan. Akan tetapi, banyaknya skema pembangunan yang masuk ke desa hingga kini masih belum terkoordinasi dengan baik karena setiap program penanggulangan kemiskinan punya, mekanisme koordinasi dan pengambilan kebijakan tersendiri. Dampaknya, pemerintah desa dan masyarakat mengalami kebingungan dalam meletakkan posisi program pembangunan penanggulangan kemiskinan yang harus dilaksanakan sesuai dengan skema pembangunan desa maupun pembangunan daerah.


Ulasan di atas adalah sebagian dari temuan IRE di sejumlah FGD yang dilakukan di beberapa desa di Gunungkidul, sebagai bagian dari program “Mendorong Reformasi Kebijakan Daerah untuk Perencanaan Pembangunan dan Alokasi Budget Yang Berpihak pada Desa dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Dasar dan Penanggulangan Kemiskinan”.


Selama 8 bulan ke depan, dengan dukungan TIFA Foundation, IRE mencoba mengkaji skema pembangunan penanggulangan kemiskinan dan ADD sebagai bentuk implementasi kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (perimbangan keuangan pusat dan daerah) yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001. Idealnya, kebijakan alokasi anggaran (dana) ke desa sebagai salah satu instrumen kebijakan Pemerintah Daerah mempunyai prinsip dan tujuan, antara lain untuk: (i) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa (vertical fiscal imbalance) dan antardesa (horizontal fiscal imbalance); (ii) meningkatkan kualitas pelayanan publik di desa dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar desa; (iii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya daerah; (iv) tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke Desa yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil; (v) dan mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro daerah.   


Anang Saptoni 
Share this article :

JALUR KULON PROGO

KIRIM TULISAN ...........


SUGENG RAWUH....
KIRIM KRITIK, SARAN, MASUKAN
ATAU TULISAN ARTIKEL ANDA KE KAMI.
(Artikel anda akan dipublish diblog ini)




 
Support : Hubungi Kami | Kebijakan | Tentang Kami
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2016. Krembangan Online | Desa Krembangan Panjatan Kulon Progo Yogyakarta - All Rights Reserved
Design Inspiring by Creating Website | Modifikasi dan dipersembahkan oleh JH-DsX