Oleh : Alip Winarto* (Warga Krembangan di Banjarmasin)
UJIAN Akhir Nasional (UAN) sejak diluncurkan beberapa tahun lalu sampai saat ini masih menjadi pembicaraan hangat, baik yang pro maupun yang kontra. UAN dianggap saat ini sebagai tolok ukur keberhasilan studi seorang siswa dalam sebuah lembaga pendidikan yang diikutinya. Para orang tua murid sering dihantui dengan kecemasan, mampu apa tidak anaknya “lolos dari lubang jarum UAN”. Berbagai upaya ditempuh oleh orang tua murid meskipun harus mengeluarkan biaya ekstra, misalnya dengan mengikutsertakan anak-anak belajar private di luar sekolah.
Ternyata permasalahan yang dihadapi para orang tua tidak berhenti sampai UAN berakhir. Hampir semua orang tua yang anaknya “ lolos dari lubang jarum UAN ” juga akan dihadapkan pada permasalahan baru lagi yaitu problema biaya pendidikan yang semakin tinggi di jenjang berikutnya. Hampir sebagian besar orang tua menginginkan anak dapat mengenyam pendidikan tinggi yang berkualitas meskipun banyak komponen yang harus dibayar ketika seorang anak masuk ke jenjang pendidikan tinggi.
Penulis pernah mengenyam pendidikan tinggi di sebuah universitas ternama yang sampai sekarang sering disebut-sebut sebagai universitas terbesar di Indonesia. Pada saat itu mahasiswa yang bisa masuk berasal dari berbagai kalangan yang sangat beragam. Kriteria untuk seorang calon mahasiswa diterima lebih semata-mata didasarkan pada kemampuan akademisnya, baik melalui saringan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) sekarang SNPTN maupun Penjaringan Bibit Unggul Daerah (PBUD). Biaya pendidikan pada saat itu relatif terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Tidak mengherankan apabila mahasiswa yang hampir merupakan representasi dari semua kalangan. Ada yang berasal dari keluarga pejabat, PNS biasa, konglomerat, wirasawasta, petani, tukang becak sampai anak seorang yang buruh kasar. Ibaratnya dari yang bermobil sampai yang hanya bisa berjalan kaki ada.
Ketika penulis kembali mendapatkan kesempatan untuk pendidikan pada universitas yang sama, ternyata kondisinya sudah jauh berbeda. Dari segi fisik bangunan sudah berubah total, bak hotel berbintang, sehingga ada ekstra cost yang konon harus harus dibayar oleh lembaga pendidikan yang mau-tidak mau juga berimbas pada naiknya biaya pendidikan. Kenaikan biaya pendidikan memang tidak dihindarkan seiring dengan dinamika perekonomian di Indonesia. Iseng-iseng penulis bertanya pada beberapa seorang tukang becak yang kebetulan sudah sejak lama mangkal di sekitar kampus dan kebetulan semua anaknya sempat mengenyam di pendidikan univeritas ternama ini.
Menurutnya wajar jika biaya pendidikan semakin tinggi seiring dengan semakin merangkaknya harga-harga di luar, tetapi apakah masyarakat yang harus menanggung beban. Bagaimana jika masyarakat itu tidak mampu? Ia merasa bersyukur, karena sudah terlebih dahulu mendapatkan kesempatan memasukkan anak-anaknya di universitas ini. Meskipun dengan pendapatan pas-pasan semua anaknya mampu mengenyam pendidikan yang berkualitas di universitas ini sampai selesai. Menurutnya, seandainya ia baru mendapatkan kesempatan dalam kondisi seperti saat sekarang ini, bukan tidak mungkin anak-anaknya tidak bisa menjadi mahasiswa di kampus ini, karena biaya yang sangat tinggi yang kemungkinan hanya dapat dipenuhi oleh kalangan tertentu saja.
Ketika penulis mencoba mengkonfirmasikan hal ini dalam sebuah seminar, seorang narasumber mengungkapkan, pendidikan yang berkualitas tentu saja mahal. Oleh karena itu siapa saja yang ingin menikmati pendidikan tinggi yang berkualitas juga harus membayar mahal. Di era sekarang susah sekali mendapatkan yang murah atau gratis apalagi untuk sebuah pendidikan yang berkualitas. Apalagi pemerintah juga sedang mengkaji kemungkinan penerapan konsep BHP (Badan Hukum Pendidikan) dalam mengelola sebuah lembaga pendidikan.
Meskipun sebuah lembaga pendidikan dikelola dengan menerapkan bentuk BHP esensinya seharusnya bukanlah pada privatisasi. Tidak dapat dipungkiri, untuk mengelola sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas tidak bisa begitu saja mengesampingkan profit (keuntungan), tetapi keuntungan itu seharusnya dikembalikan lagi untuk pengembangan pendidikan dan tidak menjadikan lembaga pendidikan sebagai lembaga yang komersial. Di samping itu pengelolaan lembaga pendidikan juga harus tetap mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat yang tidak mampu. Bagaimanapun juga penyelenggaraan sistem pendidikan harus mempunyai visi dan misi sosial, yang tidak hanya mementingkan konsep untung rugi.
Fenomena di atas ternyata juga terjadi di beberapa lembaga pendidikan yang lain baik di pada level dasar, menengah maupun tinggi yang tersebar di beberapa seluruh wilayah di Indonesia. Bahkan lembaga pendidikan pra sekolah (play group dan TK) yang dianggap favorit tak jarang juga mematok biaya yang cukup tinggi. Tak jarang beban yang cukup berat yang harus dipikul oleh sebagian masyarakat ini disuarakan oleh kaum intelektual, melalui berbagai aksi unjuk rasa yang kadang-kadang berakhir ricuh. Sayangnya berbagai upaya yang ditempuh tidak cukup efektif dan belum sepenuhnya mendapatkan respon positif dari pihak pengelola pendidikan maupun pemerintah selaku regulator pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Sehingga biaya untuk sebuah pendidikan yang berkualitas tetap saja mahal dan tidak terjangkau untuk kalangan tertentu.
Lembaga pendidikan tampaknya dari tahun ke tahun masih saja memarjinalkan masyarakat kurang mampu, sehingga peluang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas bagi kalangan ini semakin rendah alias pendidikan yang berkualitas tidak terdistribusi secara merata. Padahal seperti yang diatur dalam UUD 1945 (pasal 31) pendidikan merupakan salah satu tanggung jawab negara. Bahkan dalam UU Sisdiknas (pasal 49) juga merekomendasikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mengalokasikan dana minimal 20 persen dari APBN dan APBD di luar gaji pendikan dan biaya kedinasan.
Dengan jaminan berbagai regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia seperti disebutkan di atas, diharapkan kebodohan di Indonesia dapat ditekan pada angka yang paling bawah tanpa memandang apakah itu masyarakat kurang mampu atau masyarakat yang mampu.
Pendidikan adalah merupakan jantung utama pembangunan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Betapa pentingnya pendidikan, sehingga para orang tua berani melakukan apa saja demi terpenuhinya kebutuhan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak mereka. Pendidikan seperti siklus darah yang mengalir tanpa henti dalam tubuh manusia, dimana kehidupan seseorang diantaranya sangat tergantung dari apakah aliran darah itu dapat berjalan dengan baik atau tidak. Pendidikan juga menjadi salah satu parameter dalam menentukan keberhasilan pembangunan, karena pendidikan sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusia sebagai aktor utama pembangunan.
Yang perlu direnungkan oleh semua pihak adalah, bagaimana agar pendidikan yang berkualitas baik di tingkat pra sekolah, pendiikan dasar, menengah, maupun tinggi dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu dalam rangka melakukan perbaikan pada sistem pembiayaan pendidikan, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah pusat dan daerah secara serius. Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah besarnya dana pendidikan yang harus dialokasikan, aspek keadilan dalam alokasi anggaran, serta aspek efisiensi dalam pendayagunaan anggaran.
Meskipun UU Sisdiknas mengisyaratkan agar pemerintah mengalokasikan setidak-tidaknya 20 persen dari anggaran untuk menunjang berlangsungnya program pendidikan, baru sebagian pemerintah daerah yang melaksanakan dengan berbagai alasan. Paling tidak langkah berani Bupati Jembrana (I Gede Winasa), yang pada tahun 2003 mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 34,27 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp232 miliar perlu diikuti oleh para pemimpin daerah yang lain dan pejabat terkait lainnya. Program ini kemudian dijabarkan dalam berapa bentuk kegiatan. Diantaranya pembebasan biaya Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP) SD sampai SMA, pembangunan dan perbaikan gedung sekolah, beasiswa pendidikan bagi para guru, upaya peningkatan kesejahteraan guru melalui peningkatan insentif, dan bonus tahunan. Komponen-komponen biaya yang terkait dengan hal-hal tersebut tidak lagi dibebankan pada masyarakat.
Yang tidak kalah pentingnya, pendidikan bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab pihak swasta. Tanpa sumber daya manusia yang handal yang hanya dapat dicetak melalui berbagai lembaga pendidikan, tidak mungkin sebuah perusahaan berkembang dengan pesat dan memperoleh keuntungan. Karena sudah saatnya jejak beberapa perusahaan swasta yang peduli dengan pendidikan dengan mengalokasikan sebagian dari keuntungan yang diperoleh dalam bentuk program beasiswa perlu didukung dan diikuti oleh perusahaan lainnya.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, sudah saatnya kita berkaca bahwa pendidikan yang berkualitas adalah hak seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah, swasta dan masyarakat harus bahu membahu mewujudkan pendidikan yang berkualitas bagi semua, mencari solusi terbaik agar pendidikan yang berkualitas benar-benar dinikmati oleh secara adil dan merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Sehingga tidak ada lagi guyonan : “ orang miskin dilarang sekolah “. Amiin.
*) Pernah dimuat di Harian Radar Banjarmasin
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !